Senyatanya
posisi Indonesia sangat strategis dalam percaturan transportasi laut, baik
untuk kawasan regional maupun dunia. Anugerah alam Indonesia menjadikan kita
sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, karena memiliki wilayah seluas 7,7
juta Km2, dengan luas lautan 2/3 wilayah Indonesia,
dan garis pantai terpanjang ke empat di dunia sepanjang 95.181 km, serta memiliki 17.480 pulau. Dengan demikian, jasa transportasi laut (pelayaran) menjadi sebuah potensi ekonomi yang besar, baik bagi Indonesia sendiri dengan konektivitas antarpulau, maupun dengan negara lain.
dan garis pantai terpanjang ke empat di dunia sepanjang 95.181 km, serta memiliki 17.480 pulau. Dengan demikian, jasa transportasi laut (pelayaran) menjadi sebuah potensi ekonomi yang besar, baik bagi Indonesia sendiri dengan konektivitas antarpulau, maupun dengan negara lain.
Supaya potensi tersebut nyata, maka salah
satu strategi percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi nasional adalah
dengan mengedepankan penguatan konektivitas antar pulau, terutama pulau-pulau
terluar. Konektivitas ini hanya bisa terwujud apabila transportasi laut di
negara kepulauan terus diperankan secara signifikan. Transportasi laut sangat
vital peranannya sebagai “Jembatan Nusantara” dan tidak tergantikan oleh
transportasi udara dan darat.
Sebagai
negara kepulauan terbesar di dunia dan ditinjau dari segi daya saing, pangsa
pasar angkutan laut baik antar pulau maupun antar negara masih dikuasai oleh
armada niaga berbendera asing. Kemampuan daya angkut armada nasional untuk
muatan dalam negeri baru mencapai 54,5 persen dan hanya 4 persen untuk ekspor,
selebihnya masih dikuasai oleh armada asing.
Namun, persoalan bagi Indonesia tidak sekadar bagaimana
mengembangkan angkutan laut yang kompetitif, tetapi juga bagaimana
mengembangkan pelabuhan Indonesia agar dapat memenuhi standar internasional.
Inilah yang menjadi salah satu penyebab utama kurang kompetitifnya ekonomi
Indonesia sebab hampir 70 persen dari ekspor barang dan komoditas Indonesia harus
melalui Singapura.
Untuk meningkatkan pembangunan pelayaran nasional,
dibutuhkan sasaran yang jelas. Sasaran tersebut menurut Bambang, mencakup lima
hal, pertama, harus dapat memenuhi asas cabotage sebesar 100 persen dan 40
persen export import share untuk kapal Indonesia. Kedua, perlu dibangunnya
sebagian besar kapal di Indonesia sehingga menjadikan Indonesia sebagai pusat
pelayaran kapal dunia. Ketiga, pelayaran rakyat harus berperan penting dalam
standar logistik nasional. Keempat, pelayaran harus memiliki sistem dan
manajemen pelabuhan berstandar internasional, dan yang Kelima dibutuhkan
pembangunan pusat pendidikan dan pelatihan serta penyedia Sumber Daya
Masyarakat (SDM) di bidang pelayaran dan perkapalan yang terkemuka. Melalui
sasaran tersebut lanjutnya, diharapkan para pemangku kepentingan pelayaran
dapat segera mengambil tindakan untuk merencanakan langkah-langkah beyond
cabotage sehingga para pelaku pelayaran Indonesia mampu bersaing di kancah
global.
Untuk asas cabotage sendiri masih menyisakan pekerjaan
rumah untuk kegiatan offshore seperti pengeboran minyak lepas pantai yang
sangat diperlukan dalam pengoperasian eksplorasi migas di dalam negeri.
Meskipun pengusaha nasional saat ini telah memiliki dua very large crude
carrier (VLCC), baru sekitar 10 persen kapal offshore tipe C yang sudah
berbendera nasional, sedangkan 90 persen lainnya masih berbendera asing.
Oleh karena itu, apabila sektor pelayaran dapat
berkembang dengan baik maka dapat memberikan kontribusi nyata, seperti
terciptanya lapangan kerja, terwujudnya kemajuan pembangunan daerah dan
pembangunan nasional serta memberikan kepercayaan diri dan kebanggaan sebagai
negeri bahari.
Pengembangan
transportasi pelayaran mau tidak mau juga menyentuh penyedia jasa galangan
kapal. Bambang mengatakan bahwa saat ini ketersediaan galangan kapal sangat
terbatas dan menjadi halangan bagi perusahaan pelayaran Indonesia untuk
memperluas operasi. Ketersediaan kapasitas galangan kapal yang diperuntukkan
bagi pembuatan kapal baru saat ini hanya sekitar 600.000 GT, masih di bawah
kebutuhan yang mencapai 2 juta GT per tahun.
Selain itu, area galangan kapal yang dibutuhkan untuk
perbaikan dan pemeliharaan kapal hanya dapat memenuhi 83 persen dari kebutuhan.
Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan perluasan kapasitas, area dan
peningkatan kuantitas fasilitas galangan kapal.
Sekalipun demikian, Pemerintah ungkap
Bambang, melalui MP3EI telah menetapkan beberapa prioritas termasuk dalam
bidang konektivitas laut dan pembangunan fasilitas pelabuhan di Indonesia senilai
tidak kurang dari Rp117 triliun.
Sejalan dengan MP3EI, MPAC akan mengembangkan jaringan ferry roll on
roll off (Roro), short sea shipping, dan electronic data interchange (EDI) di
beberapa pelabuhan utama di Indonesia. Indonesia sebagai negara kepulauan
terbesar di dunia memiliki potensi yang sangat besar dalam bidang transportasi
laut. Dengan tetap melaksanakan asas cabotage di mana barang dalam negeri
diangkut oleh kapal berbendera nasional, para pemangku kepentingan pelayaran
perlu segera merencanakan langkah-langkah beyond cabotage agar pelaku pelayaran
Indonesia mampu bersaing di kancah global.
Sumber: Transmedia
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus